Sepanjang tahun 2016 ini, kita banyak mendengar berita menyedihkan tentang meninggalnya siswi SMP asal Bengkulu akibat kasus kekerasan seksual oleh 14 pria, yang merupakan tetangga dekat dan teman sekolah korban. Kita tentu juga belum lupa kasus kekerasan seksual yang dialami oleh karyawati sebuah pabrik di daerah Tangerang, yang ditemukan tewas dengan cangkul menancap di antara kedua paha. Dua kasus tersebut menjadi bukti bahwa kekerasan seksual dapat terjadi terhadap siapapun tanpa memandang bulu. Tidak peduli apa profesi perempuan tersebut, pakaian seperti apa yang ia kenakan, kerentanan masih terus menghantui perempuan. Padahal setiap manusia memiliki hak atas rasa aman.
Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ranah publik saja, namun ranah domestik pun perempuan kerap mengalami kekerasan. Beberapa kasus kekerasan dalam ranah domestik yang terjadi salah satunya menimpa pekerja rumah tangga, atau belum lama ini terjadi, seorang suami di Depok yang menjual istrinya sendiri.
Tak hanya kekerasan fisik, perempuan juga kerap menjadi korban kekerasan psikis, ekonomi, politik maupun sosial. Kasus kekerasan terhadap perempuan juga terkadang didapatkan ketika Ia masih pacaran. Ketika pacarnya mengajak berhubungan badan dan si perempuan tidak mau, akhirnya laki-laki tersebut menganiaya dan tetap memaksa si perempuan agar melayani mereka. Hal tersebut mengakibatkan munculnya penyakit trauma yang muncul kepada perempuan korban kekerasan tersebut.
Banyaknya kekerasan terhadap perempuan yang terjadi, tentunya menunjukan kepada kita bhawa persoalan tersebut bukan semata-mata tentang kejahatan si pelaku, namun ada kesalahan dalam cara pandang dan berpikir kita. Ada yang salah dengan paradigma berpikir masyarakat, bahkan budaya yang ada, terkadang membenarkan perilaku penyimpangan. Keslahan tersebut jelas dibuktikan dengan beberapa komentar pejabat publik terkait kasus-kasus kekerasan seksual.
Fauzi Bowo
Pada tahun 2011, mantan gubernur DKI Jakarta ini pernah mengomentari maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di angkot, yang saat itu memang tercatat banyak perempuan yang menjadi korban kasus kekerasan seksual di angkot.
Dalam pernyataannya, Fauzi Bowo menyalahkan korban karena menggunakan rok pendek.
“Coba bayangkan yang duduk di depan perempuan itu, bagaimana reaksinya melihat ada perempuan pakai rok mini, rada gerah juga kan,” kata Fauzi.
Mohammad Nuh
Pernyataan serupa juga keluar dari mulut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh. Saat itu yang Ia komentari adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap gadis berusia 14 tahun. Dalam pernyataannya, sama seperti Fauzi Bowo, Nuh juga menyalahkan korban.
“Bisa terjadi karena suka sama suka. Lalu, yang perempuan menuduhnya pemerkosaan,” ungkapnya.
Ramli Nur
Saat menjabat sebagai Gubernur Aceh Barat, Ramli pernah mengatakan bahwa perempuan yang tidak mengenakan pakaian sesuai Islam layal diperkosa.
“Perempuan yang tak berpakaian sesuai syariah seperti meminta diperkosa, termasuk beramai-ramai”, kata dia.
Saleh Partaonan Daulay
Ketua komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini pernah mengekuarkan pernyataan yang cenderung menyalahkan korban. Saat itu, kasus yang sedang gencar adalah kasus kekerasan yang menimpa YY, remaja yang tewas dianiaya 14 orang.
“Dalam kasus Bengkulu, kemungkinan yang paling salah adalah ketika korban berjalan sendirian di pinggir kebun yang sangat sepi dan membuka ruang bagi pelaku untuk berbuat jahat,” katanya.
Tiga pernyataan dari pejabat publik tersebut semakin memperkuat anggapan bahwa ada yang salah dengan cara pandang masyarakat kita terkait kasus kekerasan seksual. Terkadang masyarakat menyepelekan kasus kekerasan seksual bahkan ada yang sampai menyalahkan korban, dalam hal ini perempuan. Selama ini, perempuan banyak menjadi korban stereotip masyarakat. Bahkan stereotip tersebut didukung oleh legitimasi agama dan budaya. Hampir seluruh tata cara hidup perempuan diatur. Dari segi berpakaian, berpendapat, bahkan berbicara pun diatur. Perempuan yang mengenakan pakaian terbuka akan dicap sebagai perempuan nakal. Perempuan yang suka berteriak dan berbicara kasar akan dianggap sebagai perempuan tidak baik dan tidak sesuai hakikat perempuan yang sebenarnya. Padahal data membuktikan mayoritas pelaku kekerasan seksual adalah laki-laki. Laki-lakilah yang seharusnya diberi pengajaran untuk menghargai perempuan, tidak boleh memperlakukan perempuan semena-mena, dan menghindari melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan dengan alasan apapun.
Hal lain, adalah reaksi perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Beberapa perempuan yang mengalami pelecehaan seksual di ranah publik maupun domestik memilih untuk bungkam karena malu. Alih-alih melapor ke pihak kepolisian, si perempuan lebih memilih pulang ke rumah, menyendiri, dan yang paling parah adalah merasa diri hina.
Ini lah akibat dari dampak berpikir kita yang selama ini masih diabadikan dan terus menerus diwariskan secara turun temurun dalam masyarakat. Ketika perempuan diberikan beban untuk ‘menjaga diri’, sementara kita lupa memberitahukan bahwa perempuan punya hak atas otoritas tubuhnya, punya hak rasa aman. Seharusnya, dalam kasus kekerasan seksual yang merasa malu adalah pelaku pelecehan, bukan si korban. Karena itu, persoalan kekerasan seksual terhadap perempuan tidak hanya dapat diselesaikan melalui kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut harus dimulai dengan perubahan paradigma masyarakat dalam memandang posisi perempuan. Penerapan perubahan paradigma tersebut diterapkan terhadap siapapun, baik terhadap laki-laki maupun perempuan itu sendiri. Sosialisasi ini dapat melalui jalur pendidikan, politik maupun sosial masyarakat. Perubahan cara pandang budaya yang bersifat patriarkis juga harus diubah secara perlahan, dan kita dapat memulai semua itu dari diri kita sendiri.

0 komentar:
Posting Komentar