Senin, 26 September 2016

01.09

Dilan, laki-laki tanpa cela yang digambarkan Pidi Baiq dalam karangan novelnya dengan judul yang sama, “Dia Adalah Dilanku”. Novel ini hadir dalam 2 edisi. Edisi pertama “Dia Adalah Dilanku, Tahun 1990”, edisi selanjutnya “Dia Adalah Dilanku, Tahun 1991”. Novel pertama terbit pada tahun 2014, disusul novel kedua terbit pada tahun 2015.
Novel ini berkisah tentang perjalanan cinta Dilan dan Milea melalui sudut pandang Milea. Novel ini merupakan novel fiksi yang ditulis oleh Pidi Baiq. Namun dari segi penulisan, novel ini dibuat seolah-olah Milea lah yang menulisnya.
Kisah ini berawal dari pemindahan keluarga Milea dari Jakarta ke Bandung. Di Bandung ia bertemu dengan Dilan, sosok laki-laki climitan, humoris, namun mempunyai pemikiran yang cerdas dan kritis. Bagaimana tidak, awal pertama mereka jadian saja bukan sekumtum bunga mawar yang Dilan persembahkan pada Milea, melainkan selembar materai. Materai tersebut untuk ditempelkan pada selembar kertas “proklamasi” yang berisi tentang pernyataan kalau mereka sudah resmi pacaran.
Keunikan Dilan bukan berhenti disitu. Kado yang Dilan beri kepada Milea juga bukan boneka Teddy Bear seperti remaja-remaja pada umunya, melainkan buku teka-teki silang. Buku tersebut sudah dengan jawabannya. Alasannya adalah agar Milea tidak pusing-pusing mencari jawaban. Konyol sekali bukan? Eh, romantis sekali bukan?
Dilan, jajaka asal Bandung yang masih duduk di bangku SMA. Anak geng motor. Tapi jangan bayangkan ia urakan. Dilan bukan seperti itu. Ia memang anak geng motor, tapi sayang ayah bunda, adik, kakak dan sopan terhadap siapapun yang sopan pula kepadanya. “Senakal-nakalnya anak geng motor, mereka shalat pada waktu ujian praktek agama”. Begitulah kata-kata yang sering ia ucapkan pada Milea.
Siapapun yang mengenal Dilan, meskipun lewat novel, pasti mendambakan sosoknya. Contohnya aku sendiri. Pertama kali dikenalkan oleh Dilan, maksudnya novel Dilan adalah melalui teman. Suatu hari aku berkunjung ke kontrakan teman. Tiba-tiba ia menyodorkan novel Dilan, Dia adalah Dilanku tahun 1990. “Nih baca, bagian awalnya saja!”, serunya. Bagian pertama kubaca tanpa jeda. Kemudian bagian kedua, mulai tertarik dengan sosok Dilan. Namun karena hari itu hari sial, temanku tidak memperbolehkan novelnya kubawa. Mulai dari pertemuan tak sengaja itulah aku mulai penasaran dengan sosok Dilan dan ingin mengenalnya lebih dalam.
Paginya kuputuskan pergi ke Gramedia dan langsung memburu novel tersebut. Beruntung stock masih ada dan novel sudah ditangan. Sampai kosan, tanpa basa-basi langsung meneruskan perkenalan ku dengan Dilan. Tidak perlu waktu lama untuk menghabiskan novel 330 halaman itu. Karena bahasa yang ringan dan cerita yang menarik sama sekali tidak membuat saya bosan. Bahkan jujur aku betah lama-lama kepo tentang Dilan.
Dilan, jajaka asal bandung itu misterius. Bagaimana tidak. Selama 21 tahun saya tinggal di Bumi belum pernah menemukan sosok seperti Dilan, kecuali Dilan itu sendiri. Segala sesuatu yang ia lakukan tergolong sesuatu yang tidak biasa orang lakukan. Ngasih cokelat ke Milea lewat tukang sayur, sampai tukang pos. Titip salam lewat bibi Milea via telfon, padahal Lia sendiri di rumah.
Ia memang anak yang climitan dan tergolong kategori hiperaktif. Sering bolos sekolah tapi ikut lomba cerdas cermat antar kelas. Hal tersebut membuktikan bahwa tidak semua anak yang bolos masuk kelas itu bodoh. Dilan tidak suka masuk kelas karena ia lebih suka belajar di warung Bi Eem. Belajar tentang dinamika kehidupan yang sebenarnya, bukan sekedar teori. Sudah jarang sekali sosok remaja seperti Dilan, apalagi di era sekarang ini.
Sosok yang susah ditebak. Apalagi di novel yang kedua, “Dia adalah Dilanku, Tahun 1991”. Suatu ketika Dilan terjerat kasus tawuran antar geng. Lia, sebagai pacar yang baik sudah mengingatkan DIlan agar tidak iku dalam tawuran tersebut. Didepan Lia, Dilan seolah-olah menuruti kata-katanya. Tapi dibelakang Lia, ia tetap ikut dalam tawuran tersebut sampai suatu hari Dilan dan teman-teman gengnya ditangkap polisi.
Hingga disuatu hari, Akew, salah satu teman geng Dilan meninggal. Dan identifikasi sementara membuktikan kematian Akew adalah akibat balas dendam dan termasuk dalam rentetan tragedi tawuran. Lia semakin panik atas keikutsertaan Dilan dalam geng motor. Imbasnya adalah keluarnya kata-kata pisah dari Lia kepada Dilan. Lia menganggap Dilan sudah keluar dari batas wajar karena lebih memilih teman-temannya dengan tetap ikut geng motor daripada Lia yang pada saat itu adalah sebagai kekasihnya. Meskipun dari lubuk hati yang terdalam Lia tidak ingin berpisah dari Dilan. Kata-kata putus tersebut sebetulnya hanya lah sebuah gertakan untuk Dilan. Namun respon yang Lia terima tidak seperti yang ia harapkan. Dilan benar-benar meng-ACC keputusan Lia karena apa yang sesungguhnya keluar dari mulut, itu lah yang diinginkan oleh hati setelah sebelumnya diproses oleh otak.
Semenjak kejadian itu, Lia dan Dilan makin menjauh. Tak ada lagi kiriman cokelat dari tukang sayur, buku TTS yang sudah diisi, ataupun sekedar salam via telfon. Yang ada hanya lah kebisuan atas kerinduan yang mereka pendam dihati masing-masing. Aku benci kalimat ini, namun dengan terpaksa harus ku katakan. Aku benci Dilan, aku benci Lia. Aku benci rindu. Aku benci Pidi Baiq, eh.
Banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari novel ini. Diantaranya
Jangan melihat seseorang hanya dari luarnya saja. Don’t judge book by the cover. Jika kita tertarik untuk mengetahui seseorang, coba lah mencari tau seluk beluk orang tersebut. Latar belakangnya, asalnya darimana, dan jangan hanya menilai sesuatu yang terihat tanpa memperhitungkan apa yang sebenarnya dibalik tirai.
Untuk memutuskan sesuatu kita harus pertimbangkan matang-matang, apalagi menyangkut sesuatu yang penting. Pengambilan keputusan yang tepat sangat lah penting agar apa yang kita rencanakan terwujud dan sukses. Namun, tidak dapat dipungkiri, manusia adalah makhluk yang tidak luput dari kesalahan. Resiko memang tidak bisa dihindari namun bisa dicegah. Bukan kah mencegah lebih baik daripada mengobati? Maka jika kita melakukan sesuatu harus dilandasi dengan alasan-alasan yang jelas dan rasional.
Jujur lah. Dalam menghadapi apapun, usahakan untuk bersikap jujur. Meskipun dalam hal yang sepele. Apalagi yang serius. Perbuatan tidak jujur mengakibatkan lahirnya sebuah penyesalan. Apalagi dalam hal mencintai. Jujur itu hal yang utama.
Sebetulnya masih banyak lagi pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah Dilan Milea. Namun disini saya tidak ingin menjadi motivator alay yang sok-sok an memberi nasehat kepada orang lain padahal saya sendiri belum bisa melakukannya. Seperti sekarang. Aku benci Dilan tapi disisi lain aku juga merindukannya. Ironis sekali bukan?
Dilan memang sosok yang tak dapat ditebak. Dan selamanya akan seperti itu. Ketidakbisaannya ditebak menyebabkan siapapun tak akan pernah bisa memilikinya. Milea, ayah bundanya, adik kakaknya, teman-temannya, bahkan pasangannya kelak. Dilan, sosok idaman, yang tak akan pernah termiliki.
Nb: Untuk pacarku, jangan cemburu ya. Aku kangen Dilan

0 komentar:

Posting Komentar