Rabu, 01 Juni 2016

08.21
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM KORP PERWIRA
Arina Luthfiana defi (14210048)
Komunikasi merupakan suatu hal yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Melalui komunikasi seseorang dapat tumbuh dan belajar, menemukan kepribadian diri sendiri dan orang lain. Komunikasi dapat menentukan apakah sebuah kelompok dapat mempererat, mempersatukan dan memperlancar aktifitas atau justru menghambat dan memecah belah. Dalam aktifitas komunikasi seseorang akan bertukar kata dan makna dalam bentuk gagasan atau informasi dari seseorang kepada seorang yang lain. Corak komunikasi yang dihasilkan oleh tiap orang pun berbeda. Hal ini dikarenakan adanya berbedaan cara pandang dan cara berpikir yang didapat seseorang melalui pengalaman yang diperoleh. Cara pandang dan cara berpikir seseorang yang berbeda juga merupakan hasil dari perbedaan budaya.
Dalam suatu kelompok yang terdiri dari berbagai macam manusia dengan latar belakang budaya yang berbeda diharapkan antar anggota mampu berkomunikasi dengan anggota yang lain dengan baik agar apa yang telah menjadi cita-cita bersama dapat dicapai dengan mudah dan sesuai dengan rencana. Namun, untuk meraih hal tersebut tidak lah semudah membalikkan telapak tangan. Berbagai masalah yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Hal tersebut dikarenakan perbedaan latar belakang budaya antar anggota.
Dalam dunia organisasi dibutuhkan tidak hanya kuantitas materi saja akan tetapi juga kenyamanan dalam berkomunikasi yang sangat berhubungan dengan kinerja kelompok. Sehingga dengan demikian peranan komunikasi antarbudaya diharapkan mampu menciptakan harmonisasi antar anggota yang pada akhirnya mampu membentuk integritas sosial.
Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang dilakukan antar manusia yang berbeda latar belakang budaya. Efektivitas komunikasi antarbudaya ditentukan oleh sejauh mana komunikator dan komunikan memberikan makna yang sama atas suatu pesan. Keinginan untuk berkomunikasi secara efektif sangat penting karena komunikasi yang berhasil tidak serta merta dihambat oleh perbedaan latar belakang budaya tetapi juga dihambat oleh sikap-sikap etnosentris yang berakibat kepada prasangka sosial.
Dalam komunikasi antar budaya juga terdapat hambatan-hambatan yang menjadi penghalang untuk terjadinya komunikasi efektif. Salah satu hal yang menghambat proses komunikasi antarbudaya adalah stereotip. Stereotip merupakan pelabelan kepada seseorang berdasarkan sedikit informasi dan menggeneralisasikannya terhadap suatu kelompok, bukan dari karakteristik individu. Pada umumnya stereotip selalu bersifat negative. Stereotip dapat menjadi penghambat dalam komunikasi antar budaya. Stereotip dalam komunikasi antar budaya misalnya pelabelan terhadap suku Padang yang pelit. Ketika kita memperlakukan semua orang Padang sebagai orang yang pelit, kemungkinan akan terjadi kesalahpahaman seperti tersinggung dan mungkin dapat memunculkan konflik. Padahal kenyataan yang terjadi di lapangan tidak semua orang Padang itu pelit. Ada sebagian orang Padang yang dermawan dan suka memberi.
Stereotip juga mengakibatkan terjadinya diskriminasi. Diskriminasi merupakan perlakuan tidak adil terhadap seorang atau kelompok. Sikap diskriminatif cenderung mengistimewakan seorang atau kelompok diantara seorang atau kelompok yang lain. Dalam komunikasi antar budaya jika seorang atau sekelompok orang sudah mengalami diskriminasi, maka kemungkinan besar orang tersebut akan menarik diri dan cenderung menghindari proses komunikasi. Pencapaian komunikasi efektif pun gagal.
Tetapi tiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya. Begitu pula dengan permasalahan kegagalan membangun komunikasi efektif dalam komunikasi antar budaya. Terjadinya stereotip itu pasti, namun hal tersebut dapat dicegah. Stereotip tidak berbahaya selama kita menyimpannya dalam kepala kita. Stereotip akan berbahaya jika diaktifkan dalam hubungan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak boleh menggunakan stereotip secara mutlak untuk menilai seseorang atau kelompok tertentu. Karena stereotip tidak bersifat pasti. Stereotip merupakan dugaan sementara yang dilahirkan dari berbagai prasangka-prasangka dan berasal dari informasi-informasi yang sedikit.
Di penelitian kali ini, penulis akan meneliti sekumpulan orang dengan latar belakang berbeda namun bernaung dalam satu kelompok kecil. Kelompok yang penulis teliti adalah Korp Perwira. Berikut ulasan terkait penelitian yang penulis lakukan melalui metode wawancara terhadap anggota Korp Perwira.
Korp Perwira merupakan kelompok kecil yang bernaung dibawah institusi PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Rayon Pondok Syahadat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Nama perwira merupakan singkatan dari pelopor mahasiswa Islam untuk rakyat. Filosofi nama Perwira sendiri yaitu bagaimana mahasiswa masa kini dapat menjadi pelopor dalam segala hal untuk membela kepentingan rakyat dan atas nama rakyat. Dengan adanya korp Perwira diharapkan mampu mengemban amanah rakyat yang disandarkan kepada mahasiswa sebagai insan yang berintelektual yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk kepentingan rakyat.
Korp Perwira memiliki anggota kelompok berjumlah 48 orang dengan berbagai macam etnik dan suku yang berbeda-beda. Keanekaragaman inilah yang menambah nuansa komunikasi antarbudaya dalam kelompok ini. Namun tak jarang ditemukan ketidakefektifan komunikasi karena adanya faktor-faktor penghambat seperti stereotip, diskriminasi dan etnosentris. Korp Perwira memiliki anggota yang mayoritas berasal dari etnis Jawa. Kebiasaan mereka yang beretnis Jawa menggunakan bahasa mereka sendiri yaitu bahasa Jawa menyebabkan terjadinya diskriminasi terhadap anggota yang beretnis lain. Korp Perwira juga memiliki anggota yang berasal dari etnis Bugis, etnis Madura, etnis Sunda dan etnis Padang.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Korp Perwira adalah diskusi dan sesekali aksi. Diskusi yang dilakukan Korp Perwira adalah membahas isu-isu yang sedang hangat. Komunikasi yang dilakukan dalam diskusi adalah menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini tidak menimbulkan masalah terhadap antar anggota. Karena bahasa Indonesia yang merupakan bahasa resmi Negara Indonesia telah dimengerti oleh semua anggota. Ketika berdiskusi tiap anggota kelompok saling memahami dan menanggalkan sikap egosentris. Dalam berdiskusi antar anggota tidak menamai dirinya dengan status kesukuannya. Forum tersebut merupakan forum diskusi Korp Perwira. Bukan forum antar etnis dan suku. Namun forum diskusi juga terkadang berjalan alot. Tetapi hal tersebut dipicu bukan karena sensitif etnik melainkan perbedaan pemikiran hingga terjadi perdebatan intelektual. Perbedabatan intelektual ini dianggap suatu hal yang positif selama hal tersebut dapat diselesaikan di dalam forum bukan dibawa ke ranah pribadi. Sejauh ini, anggota Korp Perwira memahami hal tersebut dan telah menjadi kesepakatan bersama bahwa perdebatan di forum diskusi tidak berimbas pada kehidupan sehari-hari.
Di Korp Perwira sendiri ada satu orang yang diangkat menjadi ketua. Meskipun mayoritas anggota Korp Perwira berasal dari etnis Jawa, namun ketua Korp disandang oleh orang Makassar, yaitu berasal dari suku Bugis. Dalam pengangkatan ketua Korp, indikator-indikator yang berlaku bukan dilihat dari latar belakang suku melainkan mampu tidaknya dia menyandang status tersebut. Menjadi ketua Korp merupakan status yang tidak semua orang dapat menempati. Hanya orang yang dinilai pantas dan mampu saja yang dapat. Pantas dan mampu dalam hal ini adalah intelektual dan kebijaksanaannya harus dibuktikan karena segala sesuatu yang terkait dengan permasalahan Korp, keputusan tertinggi berada ditangan ketua Korp. Tetapi segala sesuatu juga tidak lepas dari keseluruhan anggota. Dalam pengambilan keputusan sikap toleransi juga diterapkan disana. Segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan organisasi akan dibicarakan oleh ketua korp dan anggota-anggota yang lain. Sehingga keputusan yang dihasilkan tidak bias dan merupakan keputusan bersama melalui jalan musyawarah mufakat.
Kegiatan yang dilakukan Korp Perwira juga bukan keseluruhan merupakan kegiatan organisasi. Dalam berbagai kesempatan Korp Perwira juga melakukan kegiatan nongkrong bersama untuk sekedar ngopi dan bincang-bincang santai. Hal ini menambah keakraban antar anggota. Namun kegiatan tersebut juga tidak sedikit menyebabkan masalah bagi sebagian anggota. Jika dalam forum formal seperti diskusi, bahasa komunikasi yang digunakan Korp Perwira adalah bahasa Indonesia, lain halnya ketika forum nonformal yaitu nongkrong dan ngopi. Dikarenakan sebagian anggota yang ikut  bergabung ketika ngopi adalah berasal dari suku Jawa, maka forum tersebut diisi dengan candaan-candaan berbahasa Jawa. Inilah yang menyebabkan anggota yang bukan berasal dari suku Jawa merasa didiskriminasi karena mereka sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh anggota yang berasal dari suku Jawa. Hal ini terkadang juga sampai pada perilaku bullying. Bullying adalah kegiatan yang dilakukan seseorang terhadap teman seusianya berupa hinaan, ejekan, olokan bahkan dapat pula berupa pengintimidasian. Anggota yang berasal dari suku Jawa melakukan tindakan bullying terhadap yang non Jawa menggunakan bahasa Jawa. Sehingga anggota non Jawa tidak mengerti jika mereka sedang dibully. Meskipun hal tersebut termasuk dalam kategori bercanda, namun dapat berakibat fatal jika tindakan yang dilakukan berlebihan dan tanpa kontrol.
Dalam menghadapi hal ini ada dua pilihan sikap yang dapat diambil oleh anggota yang merasa didiskriminasi akibat bahasa yang tidak dimengerti. Yang pertama adalah menyerah. Menyerah disini maksudnya adalah meninggalkan forum, untuk selanjutnya tidak datang kembali. Yang kedua adalah tetap menghadapi mereka dan berusaha belajar bahasa Jawa agar ketika tindakan bullying terjadi kembali, ia dapat menghentikan tindakan tersebut karena sudah mengerti maksud yang dikatakan teman mereka.
Terkadang candaan yang dilakukan oleh sebagian anggota juga masuk dalam kategori rasis karena candaan yang mereka lakukan sudah menyangkut yang berkulit putih dan yang berkulit hitam. Hal tersebut biasanya menyebabkan anggota yang merasa memiliki kulit hitam enggan untuk datang lagi ketika ada forum seperti itu. Disinilah permasalahan terjadi. Anggota yang merasa didiskriminasi akibat sikap rasis dan etnosentris yang dilakukan sebagian anggota terkadang menyebabkan anggota yang lain tidak menerima. Namun karena pihak yang tidak menerima adalah kaum minoritas, mereka cenderung diam, tidak mengutarakan kegelisahannya akan tetapi langsung mengambil sikap dengan meninggalkan forum.
Pada dasarnya tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh komunikasi antar budaya terhadap Korp Perwira. Disini penulis akan memisahkan antara forum formal dan forum nonformal. Komunikasi antar budaya yang dilakukan Korp Perwira dalam forum formal cenderung mendekati efektif. Karena dalam melakukan interaksi antar anggota tidak membedakan dengan siapa mereka berpartner. Tidak memandang suku maupun ras. Namun, ketika dalam forum nonformal, sikap-sikap rasis masih ada. Tidak sedikit dari anggota merasa kecewa dengan sikap rasis tersebut.


Saya berharap silaturrahmi antar anggota Korp Perwira tetap terjalin dengan baik dan bagi anggota yang masih bersikap rasis untuk segera menanggalkan sikap tersebut karena itu merupakan sebuah ancaman bagi keutuhan Korp Perwira. Semoga dengan penanggalan sifat-sifat rasis, etnosetris dan egosentris Korp Perwira dapat bersatu kembali agar apa yang telah menjadi cita-cita organisasi dapat terlaksana sesuai dengan tujuan yang telah mereka sepakati.

0 komentar:

Posting Komentar