Jumat, 13 Mei 2016

02.05

Sebenarnya saya bingung ingin memulai cerita ini darimana. Begini, awalnya saya memposting status di akun facebook saya. Seperti biasanya, setelahsaya update status di facebook pasti sudah tidak saya gubris lagi karena saya tidak mau membuang-buang waktu hanya untuk mengamati siapa saja yang  ngelike status saya. Sekitar 6 jam setelah itu saya iseng-iseng buka facebook. Ternyata respon teman facebook saya terhadap status saya tadi jauh diluar dugaan. Banyak sekali yang merespon baik sekaligus kontra. Sebetulnya status saya simple sekali. Saya menulis terjemahan Qur’an Surat Al-maidah ayat 8 yang membahastentang keadilan.Yaitu berbunyi:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
Dibagian bawah saya menuliskan
“Janganhanya dengan mengangkat alas an kebencian, kalian berani menindas suatu komunitas atau perseorangan. Adillah!”
Status saya tersebut adalah salah satu rasa peduli saya terhadap kaum penyandang LGBT yang selalu dicerca dan dihina oleh sebagian oknum yang menganggap penyandang LGBT adalah keturunan babi dan layak untuk dibumi hanguskan. Sedih sekali ketika membaca respon teman-teman saya yang sama sekali tidak pro dengan status saya. Malahan mereka mengecam saya dan menganggap saya sebagian dari penyandang LGBT. Tidak apa-apa sebenarnya jika saya dianggap sebagai penyandang LGBT. Lantas ..Urusan anda terhadap saya apa? (Alhamdulillah sayamasihheterogen, hahaha) Bukan hanya yaitu saja, mereka juga berpendapat bahwa ayat tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan peristiwa LGBT dan menganggap bahwa saya telah menerjemahkan al-Qur’an secara srampangan dan ditabrakkan dengan isu LGBT. Yang ingin saya tanyakan adalah, saya meyakini tiap-tiap ayat mempunyai alasan tersendiri mengapa ayat tersebut dideklarasikan oleh Allah melaluinabi Muhammad. Saya mengenal istilah itu sebagai asbabunnuzul. Jika ayat tersebut dijadikan landasan atas suatu peristiwa, apakah asbabunnuzul-nya harus sama persis dengan asbabunnuzul pada saat ayat tersebut pertama turun? Saya rasa ituhal yang mustahil untuk pemikiran manusia biasa kecuali jika tangan Allah SWT sudah ikut andil. Apasih yang Allah tidak bisa lakukan!
Kembali kepada permasalahan awal. Tujuan saya menulis cerita ini adalah untuk memenuhi tugas kuliah Komunikasi Antar Budaya. Yaitu mahasiswa dianjurkan menulis cerita tentang kesalahan komunikasi dikarenakan perbedaan budaya. Jika kita melihat dari atas, lantas adakah keterkaitan antara kesalahan komunikasi dikarenakan perbedaan budaya dengan ceritasaya diatas? Ada. Begini ceritanya .. masih ingat cerita sayakan? Terkait ada teman facebook saya yang dengan membara menganggap status saya adalah status yang tidak benar dan menganggap saya telah menerjemahkan Al-Qur’an secara srampangan dan ditabrakkan dengan isu LGBT. Saya penasaran dengan latar belakang orang tersebut dan secara sengaja saya membuka timeline dia. Ternyata dia adalah seorang santri yang berasal dari salah satu pondok pesantren tradisional di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Saya agak tercengang dan menganggap biasa jika dia sangat kontra dengan status saya dikarenakan background dia seperti itu.
Sebagian besar dari kita pasti tau bagaimana kehidupan pesantren yang sebagian besar budaya yang mereka anut adalah budaya kitab kuning yang kental akan cerita-cerita tentang Al-qur’an dan hadist Rasul. Begini maksud saya, di pesantren terutama pesantren yang benar-benar pesantren tradisional yang belum tercampur dengan kehidupan modern era sekarang pasti sistem hidup mereka menggunakan acuan Al-qur’an dan hadist Rasul. Apasaja yang dianggap baik oleh Al-qur’an dan hadist pasti mereka perjuangkan dan apa saja yang dianggap tidak benar oleh kedua hal tersebut, pasti mereka berada dibarisan paling depan untuk menolaknya. Semua orang terutama yang bernaung dalam ajaran Islam pasti  sependapat dalam hal ini. Namun yang sedikit saya sayangkan, kebanyakan mereka terlalu terperangkap oleh paradigma yang mereka yakini sehingga hal tersebut menjadikan mereka bermetamorfosa menjadi manusia moralis yang menganggap apa yang dianggap salah, selamanya akan salah tanpa memperdulikan alasan -alasan dibalik kata  salah  tersebut dan menjadikan  mereka lupa terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Saya meminta maaf sekali jika ada pihak-pihak yang tersinggung dengan tiap-tiap pernyataan yang saya tulis disini. Tulisan ini masih berstatus asumtif karena saya tidak meneliti secara langsung terhadap mereka tetapi ini adalah kesimpulan yang saya buat berdasarkan peristiwa yang saya alami. Saya tidak sekalipun menyalahkan orang-orang yang seperti itu. Tetapi mbokyao kita itu jadi orang harus lentur dan tau situasi kondisi. Diera sekarang ini saya rasa tidak bisa disikapi dengan berpikir stagnan jika dibenturkan peristiwa-peristiwa yang termasuk dalam peristiwa akhir zaman. Peristiwa yang terjadi tidak hanya berwarna hitam dan putih, namun juga merah, kuning, hijau dan biru, bahkan abu-abu. Kita tidak bisa melihat suatu peristiwa dari segi hitam putih saja. Tetapi kita juga wajib melihat hal tersebut darisegimanapun dan jangan asal menyimpulkan suatu peritiwa berdasarkan halal haramnya saja namun juga dampak dari halal dan haram tersebut.
Jika dikembalikan terhadap terjemahan Al-qur’an yang mereka anggap srampangan dan dibenturkan dengan isu LGBT saya rasa mempunyai  keterkaitan erat. Ayat tersebut menjelaskan tentang  keadilan  bagi  tiap makhluk. Tidak peduli berdasarkan suku, ras, bangsa, dan berorientasi seksual apa. Dan mewajibkan  kita haram melakukan perilaku yang tidak adil terhadap suatu komunitas atau  perseorangan dengan dalih kebencian. Itu sudah  pernyataan yang sangat jelas bahwa Allah tidak menyukai perilaku tidak adil terhadap siapapun.
Kesalahan komunikasi disini ialah tentang background darisayadan orang tersebut. Orang tersebut berstatus santri dari pondok pesantren tradisional yang pemikirannya konservatif. Sedangkan saya berasal dari background masyarakat biasa yang belum bisa  memandang peristiwa berdasarkan halal  dan  haram  perspektif  Al-qur’an dan hadist.Yang bisa saya gunakan  hanyalah  melalui  perspektif  saya  dan  mereka (penyandang LGBT) sebagai manusia yang harus dimanusiakan sebagaimana manusia.
*cerita ini dibuat hanya untuk memenuhi tugas kuliah dan bukan untuk menebar kebencian terhadap komunitas apapun.
**ditulis oleh Arina Luthfiana Defi

0 komentar:

Posting Komentar