Entah pantas atau tidak kata pengantar saya dalam tulisan ini. Disini saya ingin berbagi pengalaman sekaligus bercerita tentang perjalanan saya kemarin hari Rabu, 20 Januari 2016. Mungkin ini cerita mainstream yang hampir setiap orang mengalaminya. Suatu pagi menjelang siang, saya melakukan perjalanan dari Pati menuju ke rumah bulek saya di Menawan, Gebog, Kudus. Di tengah perjalanan, kira-kira sekitar jalan pantura Pati-Kudus entah kilo meter berapa saya agak lupa. Depan pabrik kacang dua kelinci, sepertinya. Ada segerombolan pria gagah berseragam coklat, polisi. Ya polisi. Dengan muka garang, salah satu dari mereka memberhentikan saya. Saat itu saya dengan om saya. Seketika motor yang dikendarai oleh om saya berhenti dipinggiran trotoar jalan. Terjadi sedikit percakapan antara om saya dengan polisi tersebut.
"Selamat siang, bisa lihat STNK & SIM-nya?"
Tanpa basa-basi om saya memperlihatkan STNK motornya tanpa mengeluarkan SIM-nya karena dia tidak mempunyai SIM. Lalu dengan menggunakan kode tangan, polisi tersebut mempersilahkan om saya untuk memasuki ruangan yang didalamnya terdapat pula para pengendara yang kena tilang pada operasi itu juga. Saya langsung turun dari motor dan duduk-duduk di lantai bawah diluar ruangan tersebut. Selang kira-kira 4 menit, om saya keluar dengan senyum-senyum tipis dan mengajak saya meneruskan perjalanan. Di tengah perjalanan om saya cerita tentang apa yang terjadi didalam ruangan tadi.
"Wes beres .. 50 ewu. Mou njaluk e 150 tapi tak nyang 50 polisi ne gelem" (udah beres .. 50 ribu. Tadi sebetulnya pihak polisi minta 150 tapi saya tawar jadi 50)
Tanpa berkomentar panjang, saya hanya mengucap oh ..
Ini adalah salah satu contoh kasus dari sekian ribu bahkan jutaan ribu kasus sama yang terjadi di negara tercinta kita ini. Negara Indonesia yaitu negara hukum yang dalam pengaplikasiannya jauh dari kata-kata taat hukum. Hanya bermodal rayuan manis dan sedikit kongkalikong dengan polisi, masyarakat mampu bebas dari kesalahan-kesalahan yang semestinya hanya kesalahan kecil dan bernilai kecil pula jika diproses sesuai dengan hukum dan administrasi yang berlaku. Entah bertindak atas nama organisasi atau hanya sebatas oknum, entah sebagian kecil atau mungkin sebagian besar, kepolisian di Indonesia jauh dari kata tertib dan tanggung jawab. Tertib dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Negara dan bertanggungjawab atas apa yang telah diembankan oleh negara kepada mereka. Tentang kasus yang menimpa om saya, yaitu om saya tidak mempunyai SIM. Bayangkan, biaya yang dikeluarkan untuk membuat SIM adalah sebesar 500 ribu (menurut cerita teman saya). Jika dilihat dari status pekerjaan om saya, dia hanyalah sebatas buruh srabutan yang tidak tentu kapan dia bisa kerja dan kapan dia akan gajian. Untuk mengeluarkan biaya 500 ribu untuk membuat SIM, om saya butuh waktu untuk berpikir panjang. Dan yang saya dengar menurut cerita ibu dan bapak saya, dia sedang menabung untuk persiapan naik ke pelaminan. Jikalau biaya untuk membuat SIM tidak sebesar itu, mungkin om saya dan seluruh masyarakat sudah mempunyai SIM. Dengan kondisi demikian saya turut prihatin atas apa yang terjadi di bumi pertiwi kita ini. Semoga Alloh segera menyadarkan mereka-mereka yang telah sesat dan memberikan jalan lurus, yaitu jalan menuju sirotholmustaqiim .. Aaamiin.
Saya disini tidak bermaksud untuk mencari yang hitam dan yang putih. Bukan pula bermaksud untuk menebar kebencian kepada oknum siapapun. Tetapi tulisan ini hanyalah untuk berbagi pengalaman dan semoga terdapat pelajaran yang dapat dipetik.
Home
»
»Unlabelled
» Curhatan part I : Negaraku Kronis
Jumat, 22 Januari 2016
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 komentar:
Posting Komentar