Penulis : Eka Kurniawan
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2014
Tebal : 242 Halaman
Di puncak rezim yang penuh kekerasan, kisah ini bermula dari satu peristiwa dua orang polisi memerkosa seorang perempuan gila, dan dua bocah melihatnya melalui lubang di jendela. Dan seekor burung memutuskan untuk tidur panjang. Di tengah kehidupan yang keras dan brutal, si burung tidur merupakan alegori tentang kehidupan yang tenang dan damai, meskipun semua orang berusaha membangunkannya.
Begitu lah sepenggal tulisan yang terletak di bagian belakang novel ini. Ajo Kawir, seorang remaja beranjak dewasa yang memiliki cerita hidup berbeda dari kebanyakan remaja seusianya. Ajo Kawir memiliki sahabat karib bernama Si Tokek. Si Tokek selalu menemani kemana pun Ajo Kawir pergi. Hingga suatu malam mereka berdua sedang menikmati pemandangan indah berupa tubuh perempuan gila bernama Rona Merah yang sedang dinaiki oleh dua laki-laki berseragam yang tidak mereka kenal. Ajo Kawir dan Si Tokek pun keasyikan melihat pemandangan tersebut hingga tak terasa tubuhnya menyenggol benda disampingnya. Hingga memunculkan bunyi gaduh. Sebelum Ajo Kawir berhasil melarikan diri, salah satu laki-laki berseragam memergoki dirinya sedang tersungkur.
Ajo Kawir dipaksa dua laki-laki berseragam untuk melucuti pakaian yang dikenakannya. Bukan menuruti keinginan dua laki-laki berseragam tersebut, malah keringat dingin mengucur deras dari dalam tubuhnya. Ketika salah satu dari laki-laki berseragam berhasil melepas celana Ajo Kawir secara paksa, ia mendapati kemaluan Ajo Kawir meringkuk kecil, mengerut dan hampir melesak ke dalam. Sejak peristiwa itu kemaluan Ajo Kawir tak dapat berfungsi lagi.
Segala macam upaya telah dia lakukan agar si burung mau berdiri. Mulai dari memolesinya dengan air cabai rawit hingga menyengatkan 3 lebah sekaligus ke kemaluannya. Si burung memang membesar namun tetap dalam posisi tidur, tidur dengan pulas. Ajo Kawir merasa putus asa dengan keadaan yang menimpa dirinya. Dia melampiaskan kekesalannya dengan berkelahi. Bahkan jika harus mati dalam perkelahian, dia pun ikhlas.
Ditengah permasalahan hidup yang dialami, tiba-tiba seorang laki-laki tua yang bernama Pak Gembul datang menemui Ajo Kawir dan menawarinya pekerjaan dengan iming-iming uang dalam jumlah besar. Pak Gembul adalah teman lama Iwan Angsa, yang merupakan ayah dari Si Tokek. Pekerjaan yang harus ia lakukan bukan lah pekerjaan biasa. Dia harus membunuh Si Macan. Si Macan merupakan musuh bebuyutan Pak Gembul. Tanpa berpikir panjang, Ajo Kawir menerima tawaran itu. Segala tindakan diluar batas yang ia lakukan bukan semata-mata karena keinginannya mendapatkan milyaran rupiah, namun dibalik itu semua samar-samar ia telah menyimpan dendam terhadap si burung yang sedikit pun tak pernah beranjak dari posisi tidurnya. Dasar burung pemalas.
Suatu hari Ajo Kawir mendengar cerita tentang Si Janda Muda yang miskin dan pengangguran yang mengontrak disalah satu kontrakan milik Pak Lebe, si pengusaha tambak tua kaya raya. Karena tak punya uang untuk membayar kontrakan tersebut, Si Janda Muda terpaksa memberikan tubuhnya kepada Pak Lebe agar ia dijinkan tinggal di kontrakan miliknya. Hasrat berkelahi Ajo Kawir pun muncul dan ia berniat membunuh Pak Lebe disebabkan kebiadaban yang ia lakukan terhadap Si Janda Muda. Disini lah romansa percintaan Ajo Kawir dimulai. Dia bertemu dengan seorang gadis yang nantinya menjadi pujaan hatinya ketika ia hendak membunuh Pak Lebe. Nama gadis tersebut adalah Si Iteung. Pertemuan keduanya tak seperti pertemuan pasangan-pasangan pada umunya. Ajo Kawir dan Iteung bertemu dengan cara bertarung. Ajo Kawir dan Iteung bertarung disebabkan niat Ajo Kawir membunuh Pak Lebe, yang ternyata adalah tuan dari Si Iteung.
Semenjak peristiwa itu Ajo Kawir dan Iteung saling menaruh hati. Mereka berdua pun berpacaran. Sebelum memutuskan untuk menikah, Ajo Kawir telah bercerita kepada Iteung tentang kemaluannya yang tak bisa berdiri. Si Iteung pun menerimanya dengan ikhlas. Hingga suatu hari Ajo Kawir mendapati Iteung hamil yang ternyata bapak biologis dari si jabang bayi adalah Budi Baik, kekasih sekaligus sahabat Iteung sebelum dia bertemu dengan Ajo Kawir. Ajo Kawir murka hingga akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan Iteung.
Bukan hanya memikirkan permasalahannya dengan Iteung, Ajo Kawir juga berpikir keras untuk menemukan keberadaan Si Macan. Segala macam cara telah ia tempuh agar mampu membunuh Si Macan. Hingga usahanya berbuah manis. Dia akhirnya bertemu dengan Si Macan dengan kondisi yang memprihatinkan. Si Macan lumpuh dan tubuhnya sudah lapuk dimakan usia. Ajo Kawir tak menghiraukan itu semua dan niat untuk membunuh Si Macan pun tetap ia lakukan. Akhirnya nyawa Si Macan berakhir ditangan Ajo Kawir.
Tidak selesai disitu, babak baru dalam kehidupan Ajo Kawir pun dimulai. Dia mendekam di penjara akibat kasus pembunuhan yang telah ia lakukan terhadap Si Macan. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Masa tahanan yang ia jalani telah usai. Bukan hendak pulang ke rumah untuk menemui istri tercintanya, ia berniat pergi merantau ke Ibu Kota. Ia memutuskan untuk menjadi sopir. Menjadi sopir merupakan impiannya sejak kecil. Dengan pekerjaan itu dia akan mendatangi berbagai daerah mulai antar kecamatan, kota, hingga lintas provinsi.
Pekerjaannya sebagai seorang sopir telah mempertemukan Ajo Kawir dengan Mono Ompong. Bocah bau kencur yang mempunyai keinginan menjadi jagoan agar dapat menyelamatkan gadis idamannya di kampung yang bernama Nina. Mono Ompong berkeinginan menjadi kekasih Nina, namun sedikit pun ia tak berani mendekati gadis itu. Hingga suatu ketika teman Mono Ompong bernama Marwan bercerita kepadanya bahwa semalam ia telah menikmati tubuh molek milik Nina dan membawakannya beberapa lembar uang. Mono Ompong tak percaya dengan omongan Marwan. Dia menemui Nina guna mendapat kepastian terkait permasalahan tersebut. Kenyataan tak terduga pun ia dapatkan. Semua omongan Marwan diamini oleh Nina. Tiada perasaan lain yang dapat Mono Ompong rasakan kecuali penyesalan berlebih mengapa dia telah menghabiskan uangnya hanya untuk taruhan, bukan untuk mengajak ngasur Nina. Kejadian itu yang melatarbelakangi mengapa Mono Ompong mengambil pekerjaan sebagai sopir cadangan. Agar ia mendapat uang banyak dan dapat ia gunakan untuk mengajak kencan Nina.
Ajo Kawir mendapat banyak pelajaran berharga melalui Mono Ompong. Bocah ingusan yang usianya belum genap dua puluh tahun namun memiliki keberanian bak ksatria. Impiannya menjadi jagoan ia tunjukan melalui keberaniannya bertarung dengan teman sopirnya bernama Si Kumbang. Pekerjaan sesama sopir tidak lantas membawa mereka kepada satu ideologi yang sama. Tetapi menjadikan mereka musuh bebuyutan hingga berakhir di meja pertarungan. Mental petarung dan jagoan yang Mono Ompong miliki membuat ia berhasil mengalahkan Si Kumbang. Hal itu tak putus dari campur tangan Ajo Kawir.
Hari-hari yang Ajo Kawir lewati tak lepas dari perasaan rindu terhadap Si Iteung dan bayi perempuan kecil yang gambarnya selalu ia simpan diatas kemudi tempat ia duduk. Ketika rasa rindu menyeruak dan memaksa dirinya untuk pulang, ia selalu mengelaknya. Segala keluh kesah tentang kehidupannya selalu ia ceritakan kepada si burung pemalas. Meskipun si burung sedang tidur pulas, ia percaya bahwa si burung tetap mendengar apa yang ia ceritakan. Tiap dialog yang ia lakukan dengan si burung, selalu timbul pertanyaan, mungkin kah suatu saat nanti si burung pemalas ini bangun dari tidur panjangnya atau kah ia akan mati dimakan zaman dan digerogoti usia? Tiada yang tahu.
Dia rindu kepada gadis yang pernah ia ajak bertarung. Gadis berparas anggun namun perilakunya tak mencerminkan anggun wajahnya. Iteung memang memiliki wajah cantik. Tak hanya cantik, ia juga menguasai berbagai macam jurus bela diri. Sebelum Iteung memutuskan untuk memasuki perguruan, ia merupakan gadis biasa yang duduk dibangku sekolah. Di sekolah ia digandrungi oleh guru sekaligus wali kelasnya yang bernama Pak Toto. Pak Toto selalu memanggil Iteung ke ruangannya sekedar untuk membersihkan tempat kerjanya. Di ruangan itulah Iteung mendapat perlakuan buruk dari gurunya. Badan sintalnya digerayangi oleh tangan keriput milik gurunya. Hal itu lah yang menyebabkan dia memasuki perguruan bela diri. Untuk membela tubuhnya ketika tangan-tangan kotor memperlakukannya secara kurang ajar.
Hingga suatu ketika Ajo Kawir bertemu dengan perempuan misterius bernama Jelita. Pertemuan pertama Ajo Kawir dengan Jelita terkesan begitu saja dan tidak menggairahkan, sebab wajah buluk yang ia miliki tak sedikitpun membuat Ajo Kawir bergeming. Namun semenjak pertemuan itu, Ajo Kawir sering mimpi basah dengan seorang perempuan yang wajahnya sama sekali tak asing. Dia melihat burung miliknya berdiri dengan sempurna. Semenjak peristiwa itu dia agak menghindari Jelita. Peristiwa itu pun terjadi. Ajo Kawir bercinta dengan Jelita dan ia mendapati si burung bangun dari tidur panjangnya. Ia senang bukan kepalang sekaligus sedih mendapati selera si burung yang buruk.
Sifat malas si burung telah mengajari banyak hal terkait liarnya jalan kehidupan. Si burung melakukan tidur panjang bukan karena menghindar dari kepahitan. Namun sebaliknya, melalui tidur panjangnya, si burung mampu mendefinisikan tiap-tiap sisi kehidupan yang keras dan brutal.
Dalam novel ini, banyak mengisahkan fenomena-fenomena yang dianggap tabu oleh masyarakat seperti pemerkosaan, perkelahian dan pembunuhan. Eka Kurniawan berhasil mendiskripsikan tiap peristiwa secara detail dan mendalam. Adegan, alur, maupun peristiwa yang terjadi digambarkan Eka dengan bahasa yang vulgar, terbuka dan tergolong saru. Hal ini dapat dilihat dari paragraph pembuka novel ini. Eka Kurniawan mencoba menampilkan sesuatu yang seringkali ditolak oleh masyarakat luas namun benar-benar terjadi secara wajar dan lumrah.
Eka Kurniawan menggambarkan satu persatu permasalahan dengan rijit dan lugas. Seperti kemiskinan yang melanda segolongan masyarakat yang akhirnya mengantarkan mereka ke dalam dunia gelap yang sekalipun tak pernah ia berniat memasukinya. Ketiadaan finansial yang memaksa mereka menjual kehormatannya berupa tubuh kepada kaum penghisap yang berkuasa. Lembar rupiah yang selalu diagung-agungkan oleh kaum penghisap dijadikan senjata untuk menindas kaum lemah. Tindak kriminal yang tak lagi mengenal tempat, siapa dan kapan. Peristiwa yang dialami Rona Merah misalnya. Perempuan gila yang menjadi korban penjahat kelamin, korban kebrutalan dua polisi biadab, yang semestinya melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat sebagaimana slogan tertulis yang selalu mereka dan kawan sejenisnya elu-elukan. Si Janda Muda korban kebiadaban Pak Lebe, si pemilik kontrakan. Si Iteung, seorang perempuan petarung yang menguasai berbagai jurus handal yang merupakan korban kebiadaban guru sekaligus wali kelasnya, Pak Toto. Peristiwa ini menjadi salah satu contoh dari berbagai kejadian biadab-biadab lain yang terjadi di masyarakat era ini.
Eka Kurniawan menggunakan bahasa sastra yang tergolong menarik sekaligus mengandung teka-teki. Menurut saya, novel ini tidak memiliki sisi negative yang signifikan. Namun penggunaan bahasa yang kasar dan terkesan urakan mungkin untuk sebagian orang akan merasa tidak nyaman ketika membaca novel ini. Tetapi percayalah, nilai sastra yang sesungguhnya terletak disitu. Alur cerita yang maju mundur mengajak pembaca berpikir keras untuk mengaitkan tiap peristiwa dengan peristiwa lain dalam bagian yang berbeda. Hal tersebut lah yang membedakan tulisan Eka Kurniawan dengan tulisan-tulisan sastrawan lain. Pergantian alur yang cenderung berlebihan menjadi tantangan tersendiri bagi pembaca. Kepekaan pembaca diuji sebatas mana kemampuannya memahami setiap cerita dan tragedi yang terjadi, berasal darimana, seperti apa, dan kapan. Novel ini merupakan salah satu novel yang berisi kritik sosial terhadap berbagai persoalan yang sedang dan akan manusia hadapi di era sekarang, maupun yang akan datang.

0 komentar:
Posting Komentar